Jumat, 21 September 2012

Kefektifan UU no 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Di Indonesia

 
Di Indonesia Banyak sekali Undang-undang yang mengatur tentang kehidupan masyarakat, tetapi dalam kehidupan seharai-hari masih sering terjadi ketidakefektifan hukum karena masih banyak pelanggaran hukum dan manipulasi hukum di kehidupan masyarakat khususnya di Indonesia.
Mengenai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak Di Indonesia ini masih belum efektif dikarenakan ada kerancuan tentang parameter anak. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 dijelaskan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Jadi yang membedakan antara anak dan dewasa hanya umur saja. Sebenarnya mendefinsikan anak/ belum dewasa itu menjadi begitu rancu ketika melihat batas umur anak/ batas dewasanya seseorang dalam peraturan perundang-undangan satu dan lainnya berbeda-beda. Selain itu dalam UU sebenarnya masih banyak ketentuan lainnya yang menjelaskan seluk-beluk tentang anak. Maka dengan penjelasan lebih rinci diharapkan hal ini mampu jadi patokan dalam menganalisis suatu kasus yang terjadi, apakah masuk ranah anak atau dewasa.  
Undang-undang khusus tentang perlindungan anak ini juga diharapkan mampu menjadi Undang-Undang yang jelas dan menjadi landasan yuridis untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab beberapa hal yang terkait dan yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, pertimbangan lain bahwa perlindungan anak merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional dan khususnya dalam meningkatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan berperan serta yang mana hak ini sesuai dengan kewajiban dalam hukum
Jadi Apakah Undang-Undang no 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Di Indonesia sudah efektif? Jawabannya adalah belum efektif dan belum sepenuhnya maksimal karena masih banyak terjadi kekerasan pada anak. Indonesia Media Monitoring Center (IMMC) melakukan riset media pemberitaan tentang tindakan kekerasan terhadap anak. Hasil riset menunjukkan bahwa pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak dapat dipilah dalam beberapa segmentasi bidang. Mulai dari segmentasi sosial, hukum, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan agama. Riset pemberitaan dilakukan sejak 23 Juli 2011 hingga 15 Juli 2012.

“Di lingkup pendidikan misalnya, terjadi tindakan kekerasan terhadap anak dengan pola dan kekhasan modusnya. Baik berupa tidakan kekerasan kasat mata yang dilakukan guru ataupun pola kekeraan yang laten.
Di lingkup kesehatan dan sosial kita juga dapat menemukan pola kekerasan terhadap anak. Jadi, kekerasan terhadap anak terjadi pada berbagai segementasi, dengan beragam pola dan modus. Riset yang dilakukan IMMC mencoba untuk memetakan kategorisasi tersebut,” demikian disampaikan Muhammad Farid, Direktur Riset IMMC dalam rilis yang dikirimkannya.
Hasil riset IMMC menunjukkan bahwa 26% tindakan kekerasan terhadap anak terjadi pada lingkup sosial, 14% lingkup hukum, 11% pendidikan dan kesehatan, 2% ekonomi dan 1% agama. “Pertama, hasil riset ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak ada yang bersifat eksplisit, tapi ada juga yang laten. Karena itu, dibutuhkan paradigma yang komprehensif dan jeli dalam melihat persoalan ini. Yang kedua, hasil riset menunjukkan bahwa kekerasan anak terjadi pada berbagai dimensi kehidupan dan bidang. Sangat merata. Maka, solusi menangani persoalan ini juga harus mencakup seluruh dimensi, tidak segmented,” jelas Farid.

Sumber Data: 
Hasil Monitoring IMMC Tentang Kekerasan dan Perlindungan terhadap Anak, 23 Juli 2012




Aspek Hukum Perlindungan Anak

Hukum anak sebenarnya memiliki makna yang tidak sebatas pada persoalan peradilan anak, namun lebih luas dari itu. Undang-undang No. 23/2002 tentang perlindungan anak telah membantu memberikan tafsir, apa-apa saja yang menjadi bagian hukum anak di Indonesia yang dimulai dari hak keperdataan anak di bidang pengasuhan, perwalian dan pengangkatan anak; juga mengatur masalah eksploitasi anak anak di bidang ekonomi, sosial dan seksual. Persoalan lain yang diatur dalam hukum perlindungan anak adalah bagaimana penghukuman bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan pada anak-anak dan juga tanggung jawab orang tua, masyarakat dan negara dalam melindungi anak-anak. Dengan demikian cakupan hukum anak sangat luas dan tidak bisa disederhanakan hanya pada bidang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak-anak.
Menyebar
Undang-Undang (UU) yang mengatur masalah hukum anak masih menyebar di beberapa perundung-undangan di Indonesia. Sangat disayangkan. Sebut saja misalnya, tentang perlindungan anak dari tindak pidana perdagangan orang ada diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU No. 21/2007), namun walaupun sudah diatur dalam UU tersebut, tidak ada defenisi yang memberikan batasan tentang perdagangan orang. Demikian juga yang terkait dengan perlindungan anak dari pornografi diatur dalam UU No. 44/2008 tentang Pornografi. Demikian tentang perlindungan anak dari kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.Undang-undang No. 1 tahun 1974 mengatur tentang hak waris anak, soal prinsip-prinsip pengasuhan anak juga batasan usia menikah bagi seorang anak. Demikian juga soal kewarganegaraan seorang anak ada diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 2006. Lalu tentang batasan minimum anak diperbolehkan bekerja dan hak-hak yang dimiliki pekerja anak ada diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Dan banyak aspek lain yang mengatur tentang persoalan anak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Dari gambaran di atas menunjukkan kompleksitas persoalan perlindungan hukum anak sangat luas, dan tidak bisa disederhanakan pada satu isu saja. Penting untuk memperluas cakupan dan wawasan para penegak hukum tentang pentingnya pemahaman yang komprehensif yang terkait dengan hukum anak termasuk mempertimbangkan tentang amandemen kurikulum perguruan tinggi khususnya fakultas hukum dalam memasukkan komponen ini dalam mata kuliah sehingga keahliaan hukum anak bisa lebih meningkat yang pada akhirnya mampu memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut perlindungan anak di Indonesia.
Penyidik Anak
Penyidik anak saat ini baru sebatas dimiliki oleh penegak hukum di tingkat kepolisian yang berada pada unit perlindungan anak dan perempuan (Unit PPA), itupun tidak secara spesifik disebut sebagai penyidik anak, namun otoritas diberikan kepada mereka jika menghadapi kasus-kasus yang terkait dengan anak sebagai pelaku atau anak sebagai korban.
Otoritas penyidik anak sudah sepatutnya juga diberikan kepada petugas dari kementrian sosial untuk mengawasi pengasuhan ,perwalian dan pengangkatan anak. Acap kali ketika terjadi sengketa terhadap hak asuh anak di pengadilan, kerap juga terjadi penguasaan anak oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak diberikan akses untuk mengunjungi atau secara bersama sama mengasuh anak tersebut padahal perceraian belum diputus oleh pengadilan. Demikian juga ketika telah terjadi putusan pengadilan untuk menunjuk salah satu pihak sebagai pengasuh anak namun di lapangan diingkari oleh pihak suami atau isteri maka pemerintah sama sekali tidak bisa intervensi untuk mengeksekusi putusan tersebut. Kasus lain tentang tidak ada satu institusi yang punya kewenangan untuk melakukan pengawasan adopsi anak baik oleh warga negera Indonesia maupun warga negara asing . Pengawasan yang dimaksudkan bukan saja ketika ada pelaporan, tetapi juga secara proaktif dilakukan tanpa harus menunggu pelaporan. Ketiadaan penyidik anak di kementerian sosial ini menyebabkan terjadi kekosongan hukum sehingga sering terjadi penyalahgunaan hak-hak anak oleh orang dewasa termasuk orang tuanya sendiri. Negara belum mampu memberikan perlindungan terhadap tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang tua (kandung maupun angkat) terhadap anak-anaknya. Egoisme yang dimiliki oleh orang tua kerap kali mengorbankan kepentingan anak dan negara tidak mampu melindunginya.
Kompilasi dan harmonisasi
Karena masih bertebaranya peraturan perundung-undangan yang mengatur masalah perlindungan anak dan bahkan beberapa perundangan masih bertubrukan dengan perundangan lain, maka perlu dilakukan kompilasi perundang-undangan tersebut oleh badan negara yang berwenang selanjutnya dilakukan kajian untuk melihat harmonisasi antara perundang-undangan yang ada. Dengan demikian akan dapat dilihat tubrukan dan kekosongan hukum yang terjadi. Maka langkah berikutnya adalah melakukan legal reform agar persoalan anak bisa menjadi prioritas yang dijalankan oleh negara
PUSAT PENERANGAN HUKUM KEJAKSAAN AGUNG R.I 2007
• Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu Bangsa di masa depan, yang memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh karenanya Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara dengan Undang-Undang.
• Perkembangan jaman, dan kebutuhan akan perlindungan anak yang semakin besar mendesak kita untuk memikirkan secara lebih, akan hak-hak anak karena di bahu mereka lah, masa depan dunia tersandang.
UU Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997:
Memberikan perlindungan hukum kepada anak yang melakukan perbuatan pidana, sehingga anak yang melakukan perbuatan pidana mendapat penanganan secara khusus, sedangkan peradilan yang dijalani anak tersebut pun diatur dengan mengingat kekhususan pada anak.
UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002:
Memberikan perlindungan hukum kepada anak terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi kepada anak, termasuk melindungi anak yang menjadi korban tindak pidana serta melindungi kepentingan-kepentingan keperdataan anak.
UU Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997:
• Batas usia Anak yang diatur dalam peradilan anak adalah 8 hingga 18 tahun. Pelaku tindak pidana anak di bawah usia 8 tahun diatur dalam Undang-Undang Peradilan Anak: “Akan diproses penyidikannya, namun dapat diserahkan kembali pada ortunya atau bila tidak dapat dibina lagi diserahkan pada Dep Sosial.“
• Aparat hukum yang menjalankan proses peradilan anak adalah aparat hukum yang mengerti masalah anak terdiri dari Penyidik anak, Penuntut Umum anak, Hakim anak, Hakim Banding anak dan Hakim Kasasi anak.
• Orang tua/ wali/ orang tua asuh dan petugas kemasyarakatan yang berwenang dapat mendampingi anak selama proses pemeriksaan anak di persidangan.
• Petugas pada Balai Pemasyarakatan (BAPAS)adalah petugas kemasyaratan yang . berwenang untuk memberikan hasil penelitian atas segi ekonomi, kehidupan sosial kemasyarakatan dan motivasi anak yang melakukan perbuatan pidana.
• Penjatuhan pidana penjara pada anak dalam perkara anak adalah separoh dari ancaman maksimal orang dewasa.
• Masa penahanan anak lebih singkat dari masa penahanan orang dewasa.
• Sidang anak ialah sidang tertutup untuk umum dengan putusan terbuka bagi umum.
• Pemberian kesempatan pembebasan bersyarat dengan masa percobaan bagi anak yang menjalani pidana, apabila telah menjalani sekurang-kurangnya sembilan bulan dan telah menjalani 2/3 dari pidana penjara yang dijatuhkan dan berkelakuan baik, serta.
• Adanya kesempatan Anak untuk dilepas dari penjara setelah menjalani hukumannya, dengan permohonan izin dari Kalapas yang menyampaikan permohonannya kepada Men Keh dengan permohonan izin agar anak dapat dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan dengan atau tanpa syarat, apabila Kalapas berpendapat bahwa anak negara tidak memerlukan pembinaan lagi setelah menjalani masa pendidikannya dalam lembaga paling sedikit satu tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan pembinaan lagi.
UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002:
Anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Hal ini karena UU Perlindungan anak juga melindungi keperdataan anak dimana aturan ini berhubungan dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni aturan mengenai Orang, dimana apabila kepentingan anak menghendaki, anak yang berada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah ada, sedangkan anak yang mati pada saat dilahirkan dianggap tidak pernah ada. Jadi Anak di dalam Undang-Undang ini diatur batasan usianya dari sejak dalam kandungan seorang perempuan hingga usia 18 tahun.
Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan sebagai upaya terakhir, apabila upaya lain bagi anak yang melakukan perbuatan pidana, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ataupun diserahkan kepada Departemen Sosial untuk dibina, tidak dapat lagi dilakukan.
ATURAN PERDATA BAGI ANAK
Hal-hal keperdataan Anak lain yang diatur antara lain adalah:
• Hak dan kewajiban anak, Orang tua, Pemerintah dan Masyarakat terhadap Anak;
• Pemberian Identitas anak dengan pencatatan kelahirannya;
• Pencabutan kekuasaan terhadap orang tua atau kuasa asuh yang lalai;
• Pengasuhan dan pengangkatan anak serta perwalian;
• Perlindungan Anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial Anak.
Sedangkan perlindungan anak dalam perkara pidana dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya.
ATURAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEPADA ANAK
Penjatuhan hukuman kepada para pelaku tindak pidana yang telah melakukan perbuatan pidana pada anak, akan dijatuhi sanksi pidana yang lebih berat.
Undang-Undang Perlindungan Anak, mengatur ketentuan pidana bagi pelaku tindak pidana pada anak dalam perkara:
• diskriminasi dan penelantaran anak;
• sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat;
• sengaja membiarkan anak terlibat dalam masalah hokum;
• menjadi minoritas dan terisolasi;
• tereksploitasi seksual dan / atau ekonomi;
• diperdagangkan;
• menjadi korban norkotik, alkohol, psikotropika dan zat aditif lain, padahal anak tersebut membutuhkan pertolongan dan perlu dibantu;
• pengangkatan anak illegal;
• penganiayaan terhadap anak;
• perkosaan terhadap anak;
• perbuatan cabul terhadap anak;
• memperdagangkan atau menculik anak;
• transplantasi organ anak illegal;
• jual beli organ/jaringan anak illegal;
• pemaksaan masuk ke suatu agama;
• perekrutan militer anak;
• mengekspolitasi ekonomi atau seksual anak;
• melibatkan anak dalam penyalahgunaan narkoba.
Undang-Undang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai penentuan minimal ancaman hukuman bagi perbuatan pidana yang menyebabkan anak-anak sebagai korban dalam pidana perkosaan, pencabulan, perdagangan/penculikan anak, dan sengaja melibatkan anak dalam penyalahgunaan narkoba.
Anak sebagai Korban Kekerasan di dalam Rumah Tangga
Pada dasarnya berlakunya Undang-Undang No 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang menempatkan Anak juga sebagai salah satu subyek yang dilindungi dalam Undang-Undang ini tidak menghapus keberadaan Undang-Undang Perlindungan anak yang telah ada. Namun jika dicermati, maka UU KDRT ini memberikan perlindungan yang lebih bagi anak pada beberapa hal, terutama bagi anak yang mendapatkan perlakuan kekerasan baik secara fisik maupun psikis oleh orang yang ada dalam rumah tangga si anak, masih ditambah lagi anak mendapatkan hak-hak lain untuk mendapatkan perlindungan bukan hanya dari Pemerintah namun juga dari Masyarakat. Oleh karenanya patut dibahas hal-hal yang lebih memberi perlindungan kepada anak dengan berlakunya Undang-Undang KDRT ini.
Rumah TanggaAnakterdiri dari :
• Orang tua si anak (baik orang tua kandung maupun orang tua angkat atau orang tua tiri).
• Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan anak, atau orang tua si anak (dalam hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga si anak).
• Orang yang bekerja membantu rumah tangga atau pengasuh si anak dan menetap dalam rumah tangga si anak tersebut.
Dalam hal seorang anak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, ia berhak melapor kepada polisi, apabila si anak tidak dapat melapor, orang lain dalam rumah tangga si anak, bahkan orang lain yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melindungi si anak.
Perlindungan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diberikan kepada anak yang menjadi korban kekerasan dalam Rumah Tangga:
• Perlindungan dari keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan advokat, lembaga sosial atau pihak lainnya maupun perlindungan yang didapatkan berdasar penetapan pengadilan.
• Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan korban secara medis.
• Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
• Didampingi oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
• Pelayanan bimbingan rohani
Ketentuan Pidana
• Bagi orang di dalam rumah tangga si anak yang melakukan penganiayaan terhadap anak secara fisik akan dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta rupiah (Ketentuan pidana ini lebih berat daripada ketentuan mengenai penganiayaan terhadap anak pada UU Perlindungan anak bahkan ketika UU Perlindungan anak memperberat sepertiga dari ketentuan pidana pada undang-undang tersebut apabila penganiayaan itu dilakukan oleh orang tua si anak, ketentuan pidana pada UU Penghapusan KDRT masih lebih tinggi).
• Bagi orang dalam rumah tangga si anak yang melakukan penganiayaan terhadap anak secara psikis (mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat) dipidana paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak 9 juta rupiah
(Ketentuan mengenai penganiayaan psikis ini tidak diatur pada UU Perlindungan Anak)